Catatan tentang seorang sahabat

Sahabat di dunia nyata sulit untuk ditemukan. Kalau sudah memperolehnya maka sulit untuk digantikan.

Saya tidak bisa menulis dengan akurat tentang pengalaman saya bersama Veddy. Bukan karena sedikit tapi karena terlalu banyak yang bisa dikatakan.

Kami jadi akrab salah satunya karena sepak bola. Kami bisa bicara berjam-jam tentangnya.

Kami pernah mencari orang yang hilang berhari-hari karena kabur dari rumah. Kami berhasil menemukan orang itu dalam satu hari, tapi kami sebenarnya heran bagaimana mungkin kami melakukannya. Kami menganggap diri serupa detektif saat itu.

Kami, dengan dua teman lain, pernah berlatih menari karena harus tampil mengisi suatu acara. Latihan tak pernah berjalan baik karena tak ada satu pun dari kami yang punya latar belakang menari. Gerakan kami kaku seperti robot. Kami kebingungan, lalu saling mengejek, saling pukul, dan tertawa keras sehingga latihan selalu kacau.

Suatu hari, ia mengirim video dirinya bermain bersama dengan anak-anaknya sambil hujan-hujanan di depan rumah. Di video itu ia menulis, “Quality time, ga perlu ke mall, ga perlu punya duit banyak, yang penting bersama, bahagia.”

Dari baris kata itu saya menemukan yang kadang saya lupakan di kehidupan ini: “bahagia itu tak perlu rumit, bisa bersama, cukup dan sederhana”. Hujan itu seperti jadi hidup dan berwarna cerah.

Saya juga belajar darinya kalau memberi kejutan kecil kepada seseorang itu penting. Semakin tidak direncanakan, semakin baik katanya karena itu momen yang sangat berharga.

Beberapa waktu lalu, ia minta dikirim beberapa buku saya yang bertema pengembangan potensi dan manajemen sumber daya manusia. Saya bertanya untuk apa, ia berkata, “Ini ada hubungannya dengan kerja saya sekarang. Saya mau belajar lagi dari awal untuk mengerti bagaimana cara mengelola orang.” Saya mengira ia sudah cukup dengan pengetahuannya. Ternyata ia tetap tumbuh, mau belajar dan mencoba hal baru.

Bagi saya, persahabatan Veddy selalu murni, ia tak punya agenda yang disembunyikan. Pesannya yang masih saya ingat, meski ia menyatakannya sambil bercanda: “Apa-apa itu kudu ikhlas”.

Ia berpulang. Denyut nadinya berhenti. Tapi semua kenangan bersamanya masih bergerak dalam diri saya. Saya kehilangan.

Selamat jalan. Wilujeng kantun, Kang Veddy.