Desain layanan (service design)

Anda bisa saja memiliki bisnis dengan produk atau jasa yang bagus, tapi jika layanan pelanggan Anda buruk dalam menangani pelanggan saat tatap muka langsung atau melalui alat komunikasi (telepon, chat) maka Anda bisa kehilangan pelanggan.

Ini mengapa desain layanan merupakan konsep dan praktik yang penting.

Pada tahun 1984, G. Lynn Shostack melalui dua tulisannya, yaitu How to Design a Service dan Designing Services That Deliver memunculkan istilah “Service Design (Desain Layanan)”.

Ia tertarik bagaimana pengelolaan aktivitas-aktivitas di dalam suatu organisasi. Menurutnya, hubungan antara layanan (service), orang-orang (people), dan lingkungan (environment) di dalam organisasi perlu diwujudkan dalam sebuah “service blueprint (cetak biru layanan)”.

Sarah Gibbons, salah satu anggota dari Nielsen Norman Group, dalam artikelnya Service Design 101 menulis definisi “service design (desain layanan)” adalah:

Desain layanan adalah aktivitas merencanakan dan mengorganisir berbagai sumber daya dari suatu bisnis (orang, alat-alat, dan proses-proses) dalam rangka untuk (1) secara langsung meningkatkan pengalaman para karyawan, dan (2) secara tidak langsung meningkatkan pengalaman pelanggan.

Lalu, apa yang diperlukan untuk membuat desain layanan yang baik?

IDF dalam artikelnya, The Principles of Service Design Thinking - Building Better Services, menyebutkan sejumlah prinsip umum ketika membuat desain layanan. Dari prinsip-prinsip itu, saya memilih dua yang penting, yaitu:

Pertama, layanan haruslah didesain berdasarkan nilai terbaik (value) yang ingin diberikan kepada pengguna/pelanggan dan layanan sedapat mungkin efisien. Kedua, layanan dapat diperbaiki dan dikembangkan berdasar umpan balik dari pengguna/pelanggan.